Thursday, December 4, 2008

MUNAJAT DI MULTAZAM DAN BERUCAP, "SELAMAT TINGGAL, KAKBAH".

79. MUNAJAT DI MULTAZAM DAN BERUCAP, "SELAMAT TINGGAL, KAKBAH".
Setelah kami semua berkumpul kembali, saya hanya menatap Kakbah dengan penuh haru. Pak tua yang mulanya sakit-sakitan, kini sudah nampak sangat sehat. Nampaknya dia sudah tidak punya penyakit apa-apa lagi saking sehatnya. Dia sangat ambisi ingin menjelajah bagian-bagian penting di Kakbah ini. Sampai-sampai ia mengajak kami untuk pergi ke daerah Multazam yang biasa dikenal orang dengan sebutan Pintu Emas Kakbah. Pak tua berada juga pada bagian depan untuk pergelutan menuju Multazam ini. Istrinya, istri saya dan perempuan lainnya sengaja kami suruh untuk menunggu di bagian yang agak lapang di sekitar pintu keluar dari Hijr Ismail. Kami berjalan perlahan-lahan di antara jamaah yang semuanya berebutan menuju Multazam. Pak tua sangat lincah sekali di tengah manusia yang banyak ini. Saya dan Bapak setengah tua bahkan tertinggal di belakang. Saya hampir saja menganggap tak mampu, tapi pak tua menarikku dengan menyeret tanganku. Dia amat kuat di siang hari ini. Saya benar-benar menjadi seorang yang butuh pertolongan saat ini. Bapak setengah tua menjadi tertinggal jauh di bagian belakang. Dengan tolongan tuhan, pak tua yang membantuku untuk sampai ke daerah Multazam. Saya dan dia sempat berada menempel di dinding Kakbah, di dinding Multazam yang terbuat dari emas. Saya berdiri menghadap Kakbah. Tanganku sempat meraih satu sisi beton yang terdapat di pintu itu. Saya benar-benar tidak menyangka akan sampai di sini. Pak tua segera memanggil-manggil Bapak setengah tua. Ia mengulurkan tangannya dengan maksud akan menarik Bapak setengah tua, tapi apa daya tangan mereka berdua tak kesampaian. Bapak setengah tua semakin jauh terbawa ombak jamaah yang ramai. Hingga akhirnya Bapak setengah tua nampak putus asa. Dia mundur dan kembali pergi bergabung dengan rombongan istrinya.
Saya sempat bermunajat atau berdo'a banyak pada tuhan di salah satu tempat makbul ini. Mendo'akan semua saudaraku, teman-temanku, orang tuaku, mertuaku, famili-familiku dan juga yang lainnya. Kucurahkan semua yang kuharapkan pada tuhan. Meminta apa yang teringat di benakku, dengan sangat khidmat.
Setelah selesai melakukan munajat atau berdo'a di Multazam, saya masih sempat melihat ke sisi sebelah kiriku, orang-orang yang bergelut memperebutkan untuk sampai ke Hajr Aswat. Kulihat semakin hebat juga pergelutannya. Saya tidak berniat untuk pergi ke Hajr Aswat itu jadinya, apalagi untuk ke tempat itu hanya sunnah saja hukumnya. Kulihat dari situasinya, hanya akan mengundang bahaya karena ramainya jamaah yang berebutan. Pak tuapun tak mengajakku kalau ke tempat itu. Kami akhirnya keluar dari tempat Multazam itu, dan terus menuju rombongan teman kami semua.
Di sini kutatap lagi bangunan Kakbah dengan penuh haru. Terpikir di benakku bahwa inilah kali terakhir saya memandang Kakbah dalam perjalanan ini. Saya akan pergi meninggalkannya. Saya tidak akan melihat Kakbah ini lagi esok hari. Entah kapan baru saya bisa kemari lagi. Tapi menurut biasanya, untuk kembali ke sini, bukanlah sesuatu yang mudah. Jarak negeri saya dengan Mekkah ini amatlah jauh. Sejauh seperlima lingkaran bumi. Dan bagi jemaah yang sudah ke sini pada tahun-tahun sebelumnya, hanya sebagian kecil saja yang bisa kembali lagi ke sini. Termasuk ayah dan ibu saya, termasuk nenek saya juga tak mampu ke sini untuk kedua kalinya. Memang amat jauh ke negeri Mekkah ini. Terbayang semua perjuangan nabi Muhammad untuk menguasai kota ini dan juga Kakbah ini pada zaman dahulu. Hingga sekarang telah menjadi negeri Islam yang makmur, yang amat diberkahi oleh tuhan. Tapi siang inilah saya terakhir kalinya berada di sini. Tugas terakhir untuk perjalanan haji, yaitu tawaf wada, telah kami lakukan. Semuanya sudah selesai kami laksanakan. Dalam perjalanan untuk meninggalkan Kakbah ini, disunnahkan pula untuk tidak membelakanginya, disunnahkan untuk melambaikan tangan. Melambaikan tangan untuk Baitullah saat pergi meninggalkannya. Semua orang yang saya lihat sebelumnya, semuanya menangis meninggalkan Kakbah ini. Dan saya, apakah saya akan menangis? Mampukah saya untuk tidak menangis? Sekarang saja air mataku sudah mulai terseret keluar. Hatiku terasa kosong, tak ada lagi yang perlu kupikirkan saat semuanya telah selesai kami lakukan. Tak ada lagi yang akan diperbuat. Saat-saat berada di sisi Kakbah sudah berakhir. Langkah untuk pulang sudah dimulai. Semua saling mengingatkan untuk tidak membelakangi Kakbah yang mulia, semua saling mengingatkan agar jangan lupa melambaikan tangan pada Kakbah. Wajah-wajah temanku nampak sangat sedih, seakan tak ada yang ingin
berpisah dengan tempat yang dimuliakan ini. Semua mata temanku nampak sudah mulai berlinang air mata, begitu juga saya. Saya yang merasa kekar, merasa selalu sebagai pelindung pada istriku, begitu juga teman-temanku, tapi saat ini telah menjadi seorang yang takluk atas kaharuan berpisah dengan Kakbah. Mataku sudah mulai terasa basah
karena sedihnya. Air mata tak tertahankan, mengalir membasahi pipiku, bibirku terasa kelu. Kami semua diam, tak ada lagi yang mampu mengukir kata dari bibirnya. Hati masing-masing saling mengerti, bahwa ini saat-saat paling mengharukan dalam perjalan
kami. Air mata terus mengalir perlahan-lahan. Mengalir sebagai pertanda bahwa rupanya saya sangat mencintai Baitullah. Saya sangat menyanginya. Saya masih ingin kembali lagi ke sini. Saya berdo'a pada tuhan saat berjalan mundur meninggalkan Baitullah. Berjalan meninggalkannya sebab semua telah usai dikerjakan. Pekerjaan haji telah selesai kami laksanakan, atas panggilan tuhanku. Atas suruhan tuhan yang tertulis di dalam kitab suci. Tapi semuanya telah merupakan titik penghabisan di saat ini.
Setelah kami sudah berada di ujung lapangan tawaf, kami masih terus melambaikan tangan ke Kakbah. Hingga dirasa sudah agak jauh. Begitu saya berhenti melambaikan tangan, serentak pula kami memalingkan wajah dari memandangnya. Kami pergi mengikuti langkah kaki yang semakin menjauh. Selamat tinggal Kakbah. Semoga tuhan masih mengizinkan saya untuk bisa kembali lagi, walau itu semua merupakan sesuatu yang tak mudah. Kami pergi dengan perasaan puas telah selesai dengan beban
kewajiban dalam agamaku. Pergi dengan rasa haru akan berpisah dengan Baitullah. Dan terucap di bibir untuk terakhir kalinya, "Selamat berpisah dengan Kakbah. Semoga masih ada waktu dan kesempatan untuk kembali lagi. Semoga tuhan mengabulkan keinginanku dan semua jamaah lainnya, dan juga semua kaum muslimin secara keseluruhan. Amin".
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini

No comments: