PESAWAT GARUDA ROUTE POLONIA KING ABDUL AZIZ
Ketika saya menaiki pesawat Garuda di pagi itu. Yaitu pada tanggal 04-02-2002. Di saat inilah pertama kalinya saya menaiki pesawat terbang. Yaitu ketika usia saya masih menjelang 31 tahun. Semuanya merupakan sesuatu yang baru bagi saya, termasuk melihat semua yang ada dalam pesawat itu, termasuk model tempat duduknya, melihat bagasinya, melihat peralatan-peralatannya, melihat kamar mandinya, melihat banyaknya lorong-lorong maupun kamar-kamar yang ada di dalam pesawat itu, serta melihat semua sarana yang ada di dalamnya.
Saya duduk di kursi nomor 122. Di depan saya ada merk Garuda Indonesia. Tulisan itu ditempelkan saja seperti sticker. Rasa ingin tahu saya muncul. Lalu kucongkel merek tersebut. Ternyata di balik merek itu ada tulisan Atlanta Airlines. Tak tahu pasti apakah pesawat itu milik Atlanta, atau milik Atlanta yang disewa oleh Garuda Indonesia, atau yang sengaja dibeli Garuda dari Atlanta Airlines sebagai barang second. Tapi begitulah keadaaan yang saya temukan. Lalu sticker itu kurapikan kembali. Sehingga tak ada lagi bekas congkelan yang tersisa.
Ketika semua penumpang pesawat telah mendapat tempat duduknya masing-masing, mulailah pramugari menerangkan semua tata tertib yang semestinya kami ketahui. Termasuk pengenalan situasi gawat darurat, pengggunaan alat-alat pernafasan apabila pesawat mendapat masalah yang tak diinginkan, dan juga menunjukkkan pintu-pintu darurat yang telah tersedia di dalam pesawat itu.
Mereka menerangkannya dengan bahasa Indonesia serta dengan gerak tangan yang membantu mengerti bagi yang kurang pendengaran. Pramugarinya, seluruhnya berkebangsaan Indonesia. Cuma pilotnya saja yang berkebangsaan Inggeris. Setelah semua yang perlu sudah disampaikan pada seluruh calon jemaah haji. Pesawatpun tinggal landas dari bandara Polonia Medan Indonesia. Lalu kuperiksa arlojiku yang memang dilengkapi Compass. Ternyata arah depan pesawat adalah arah Aceh. Begitu terdengar suara dari mickropon, yang memberitahukan bahwa kami sedang berada di atas daratan Aceh, Pesawatpun terasakan membelok ke arah kiri, yaitu menuju arah barat atau tujuan Arab Saudi. Sesuai dengan arah jarum compass yang kubawa.
Di sepanjang perjalanan ini, memang ada juga daaerah-daaerah yang kosong udara yang kami lalui. Rasanya seperti naik bus yang berjalan di atas jalan bebatuan. Begitulah perasaan saya bila pesawat sedang melewati udara hampa. Tapi bila pesawat sedang melintas di udara yang normal atau tidak hampa udara, sepertinya pesawat sedang tidak berjalan karena tenangnya.
Ketika angin datang dari samping kiri, kurasakan bagian depan pesawat kami seperti menyongsong arah angin tersebut pula sedikit ke arah kiri. Memang logika sekali untuk mempertahankan garis perjalanan pesawat. Yaitu untuk menghindari agar pesawat tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh penerbangan.
Sebelum berangkat tadi, pramugari sempat juga menunjukkan kepada kami, mana lampu darurat. Lampu itu ada dua. Bila tingkat bahayanya kecil, akan hidup lampu kuning. Bila tingkat bahayanya besar, akan hidup lampu merah. Begitulah kata pramugari. Dan memang di perjalanan itu, sering juga lampu kuning menyala.Tapi saya cuma berpedoman pada wajah-wajah pramugari yang sengaja melintasi para penumpang untuk melayani dengan memberi berbagai jenis minuman, snack dan juga makan siang dan sore. Ketika lampu kuning menyala untuk pertama kalinya. Yang kuperhatikan pertama-tama adalah wajah pramugarinya. Kulihat dia merasa biasa-biasa saja. Jadi sayapun beranggapan bahwa keadaan itu masih tergolong yang biasa. Kalaulah itu sudah benar-benar sesuatu yang perlu ditakutkan, tentu pramugarinya pun akan takut. Ia pun pasti takut kalau sudah benar-benar bahaya. pikirku dalam hati.
Pernah juga lampu merah menyala selama kurang lebih satu menit. Tapi saat itu, tak satupun pramugari yang sedang berada di dalam ruangan kami. Saya jadi takut juga. Untunglah tidak terlalu lama. Hampir semua calon jemaah haji sudah bermuka pucat waktu itu. Tapi saya terus ingat apa yang kutuju dalam perjalanan haji itu. Saya hanya memenuhi panggilan Tuhan. Tuhan pasti memberi jalan yang terbaik buat saya. Walaupun sekiranya hidup harus berakhir di situ, saya sudah serahkan semua pada Yang Kuasa. Selama inipun Tuhan yang memberi saya makan. Jika saya sudah tiada nantipun, pasti Tuhan juga yang memberi anak-anak saya makan.
Waktu itu saya masih mempunyai anak tiga. Dua perempuan dan satu laki-laki. Sementara yang sulung masih berumur kira-kira lima tahun. Tapi ketika saya kembali dari Makkah, saya dikarunia oleh Tuhan seorang anak laki-laki lagi. Jadi anak saya yang laki-laki, ada dua orang ketika saya menuliskan cerita ini. Cerita ini kutulis tahun 2008. Tepat ketika kejadian ini sudah berlalu 6 tahun lamanya.
Kembali kita ke cerita di dalam pesawat tadi. Keadaan dengan lampu merah, hanya sebentar saja. Dan telah berubah lagi warnanya ke lampu kuning. Begitulah keadaan berganti-ganti. Tapi dalam perjalanan itu, tentu lebih banyak yang dalam keadaan tenang. Tanpa ada lampu darurat yang menyala. Begitulah perjalanann yang saya alami selama kira-kira 9 jam kurang 5 menit itu.
Dalam situasi tenang. Tentu kita akan merasa biasa-biasa saja. Kita bisa berjalan dari tempat kita menuju toilet tanpa berpegangan pada kursi-kursi penumpang yang kita lalui. Tapi kalau lampu kuning sedang menyala, memang agak terasa goyang. Kita tidak bisa berdiri tanpa berpegangan. Apalagi sedang berjalan. Tapi lama waktu yang kami lalui pada perjalanan itu, 90%nya adalah dalam keadaan tenang. 10%nya diwarnai lampu kuning. Dan sekitar 1 menit, terpaksa harus gemetar dengan menyalanya lampu merah. Begitulah persentase keadaan dalam penerbangan kami.
Bila dalam keadaan lampu merah, memang amat terasa goyang. Ada juga yang sempat muntah karenanya. Termasuk istri saya. Perasaan takut, ada juga terlahir karena keadaan itu. Ada juga memang sedikit khawatir, apalagi semua teman seperjalan sudah bermuka pucat. Dan banyak lagi yang sudah sempat membaca surat Yasin atau ayat Qur’an secara berjamaah karena takutnya. Tapi itu rupanya sudah terbiasa dalam sebuah penerbangan. Kita tak perlu takut lagi. Apalagi ketenangan pun banyak juga kita dapatkan di dalam pesawat itu. Kita sedang menuju Tuhan. Di pesawat itu kita dilayani dengan begitu bagus sekali. Dari dalam pesawat itu kita bisa memandang awan putih yang tiada batas. Kadang kalau udara sedang cerah, daratan duniapun dapat dilihat dengan jelas dari pesawat itu. Kapal laut nampak berlayar di tengah samudera. Mobil-mobil berukuran besar nampak berjalan di jalan raya. Entah di negara mana itu berada. Sesuatu pemandangan yang tak pernah kelihatan kecuali kita sedang ada di udara. Ketakutan tadi cuma karena kurangnya pengalaman. Tak pernah ada yang bercerita kepada saya sebelumnya. Untuk itu kutuliskan cerita ini. Semoga berguna bagi siapa saja yang membacanya.
Sebelum perjalanan haji ini, saya telah menulis surat wasiat dengan apa yang saya miliki secara keseluruhan di kampung saya. Tak ada lagi urusan saya yang belum selesai sepanjang pengetahuan saya. Usaha bisnis saya pun sengaja saya hentikan untuk sementara waktu. Begitulah sekilas cerita saya ketika ada di dalam pesawat terbang dengan route Medan-Jeddah. Perjalanan yang takkan mungkin terlupakan sampai akhir hayat. Dan semoga siapapun yang membaca tulisan saya ini, akan mengerti keadaan di pesawat. Juga punya peluang dan kesempatan untuk melaksanakan haji ke baitullah. Begitu juga yang belum membacanya. Umumnya seluruhnya kaum muslimin. Amin ya Robbal alamin.
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini
Friday, June 13, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment