Banyak orang yang mampu keuangannya untuk pergi melaksanakan haji, tapi ia belum pergi. Kenapa?
Ada banyak alasan. Antara lain:
- Merasa uang yang ia peroleh bercampur yang tidak halal.
: Carilah uang yang halal. Sebab pada hari tua, anda pasti menyesal nanti.
- Merasa masih kurang mampu menjalankan ibadah lainnya.
: Haji adalah kewajiban. Kewajiban berhaji takkan terhapus karena sholat dan ibadah lainnya.
- Masih ingin melanggar hukum hukum agama, jadi haji belum pantas dicapai.
: Tidak ada hubungan dosa dengan haji. Bila mampu, tetap wajib.
- Merasa lebih enak kalau berdarmawisata.
: Naik haji juga seperti berdarma wisata, tapi lengkap dengan sholatnya.
- Malu karena kita banyak masih dosa.
: Orang yang sedang pergipun belum tentu sedikit dosanya.
- Takut uang simpanan akan habis.
: Tuhan sudah berjanji untuk menggantinya bila anda ikhlas.
- Ada juga nampaknya uangnya tidak berganti.
: Berarti mereka tidak iklas.
- Masih banyak pengetahuan agama yang belum diketahui.
: Orang yang sudah pergipun belum tentu banyak tahunya. Lagi pula menuntut ilmu itu wajib. Pelajari saja.
- Kita masih terlalu banyak dosa.
: Naik haji saja, dosamu akan diampuni.
- Malu kalau dibilang alim atau terlalu taat.
: Lebih baik jadi orang taat. Orang yang tidak taat itu karena ia tak mampu untuk taat. Padahal ia ingin jadi taat.
- Lebih enak wisata ke tempat bersejarah.
: Kota Mekkah dan Madinah lebih bersejarah lagi.
- Anak anak belum selesai kuliah.
: Mengkuliahkan anak tidak wajib, tapi berhaji adalah wajib jika mampu.
- Kenapa tak wajib mengkuliahkan anaknya.
: Kalau wajib, berarti akan berdosalah orang yang tak mampu membuat anaknya kuliah.
- Anak anak belum berumah tangga.
: Bukan kewajiban kita untuk mengawinkan anak laki laki kita. Dia yang wajib kawin bila ia mampu.
: Kalau kita tolong anak untuk menikah?
- Itu hukumya sunnah. Tapi berhaji tetap wajib bila kita mampu.
- Takut meninggalkan perusahaan.
: Perlu diingat, besok kita belum tentu masih hidup.
Hadith Muhammad:
Orang yang meninggal dan belum berhaji padahal ia mampu, pilihannya hanya mati Nasrani atau mati Jahudi
Oleh penulis buku: 40 HARI DI TANAH SUCI (berisi pengalaman saat berhaji).
Bila anda ingin mendapatkan bukunya:
KLIK DISINI
Terima kasih.
Tuesday, July 28, 2009
Tuesday, January 6, 2009
Hospital di Pineng Malaysia
Nama Nama Rumah Sakit di Pineng Atau Penang
1. Ailen Hosfital
2. Lam Wahee
3. Aventis
4. Glenneges
5. Loh Guan Lae
6. Pantai Mutiara
Pergi ke sini lebih dahulu mengurus Passport ke Kantor Imigrasi di Sibolga.
Bang H. Mulhim pergi dengan pesawat Air Lines. Kalau anda lebih ingin mengetahui cara ke Malaysia dari Mandailing Natal dengan jalan laut, maka klik disini.
1. Ailen Hosfital
2. Lam Wahee
3. Aventis
4. Glenneges
5. Loh Guan Lae
6. Pantai Mutiara
Pergi ke sini lebih dahulu mengurus Passport ke Kantor Imigrasi di Sibolga.
Bang H. Mulhim pergi dengan pesawat Air Lines. Kalau anda lebih ingin mengetahui cara ke Malaysia dari Mandailing Natal dengan jalan laut, maka klik disini.
Thursday, December 4, 2008
MUNAJAT DI MULTAZAM DAN BERUCAP, "SELAMAT TINGGAL, KAKBAH".
79. MUNAJAT DI MULTAZAM DAN BERUCAP, "SELAMAT TINGGAL, KAKBAH".
Setelah kami semua berkumpul kembali, saya hanya menatap Kakbah dengan penuh haru. Pak tua yang mulanya sakit-sakitan, kini sudah nampak sangat sehat. Nampaknya dia sudah tidak punya penyakit apa-apa lagi saking sehatnya. Dia sangat ambisi ingin menjelajah bagian-bagian penting di Kakbah ini. Sampai-sampai ia mengajak kami untuk pergi ke daerah Multazam yang biasa dikenal orang dengan sebutan Pintu Emas Kakbah. Pak tua berada juga pada bagian depan untuk pergelutan menuju Multazam ini. Istrinya, istri saya dan perempuan lainnya sengaja kami suruh untuk menunggu di bagian yang agak lapang di sekitar pintu keluar dari Hijr Ismail. Kami berjalan perlahan-lahan di antara jamaah yang semuanya berebutan menuju Multazam. Pak tua sangat lincah sekali di tengah manusia yang banyak ini. Saya dan Bapak setengah tua bahkan tertinggal di belakang. Saya hampir saja menganggap tak mampu, tapi pak tua menarikku dengan menyeret tanganku. Dia amat kuat di siang hari ini. Saya benar-benar menjadi seorang yang butuh pertolongan saat ini. Bapak setengah tua menjadi tertinggal jauh di bagian belakang. Dengan tolongan tuhan, pak tua yang membantuku untuk sampai ke daerah Multazam. Saya dan dia sempat berada menempel di dinding Kakbah, di dinding Multazam yang terbuat dari emas. Saya berdiri menghadap Kakbah. Tanganku sempat meraih satu sisi beton yang terdapat di pintu itu. Saya benar-benar tidak menyangka akan sampai di sini. Pak tua segera memanggil-manggil Bapak setengah tua. Ia mengulurkan tangannya dengan maksud akan menarik Bapak setengah tua, tapi apa daya tangan mereka berdua tak kesampaian. Bapak setengah tua semakin jauh terbawa ombak jamaah yang ramai. Hingga akhirnya Bapak setengah tua nampak putus asa. Dia mundur dan kembali pergi bergabung dengan rombongan istrinya.
Saya sempat bermunajat atau berdo'a banyak pada tuhan di salah satu tempat makbul ini. Mendo'akan semua saudaraku, teman-temanku, orang tuaku, mertuaku, famili-familiku dan juga yang lainnya. Kucurahkan semua yang kuharapkan pada tuhan. Meminta apa yang teringat di benakku, dengan sangat khidmat.
Setelah selesai melakukan munajat atau berdo'a di Multazam, saya masih sempat melihat ke sisi sebelah kiriku, orang-orang yang bergelut memperebutkan untuk sampai ke Hajr Aswat. Kulihat semakin hebat juga pergelutannya. Saya tidak berniat untuk pergi ke Hajr Aswat itu jadinya, apalagi untuk ke tempat itu hanya sunnah saja hukumnya. Kulihat dari situasinya, hanya akan mengundang bahaya karena ramainya jamaah yang berebutan. Pak tuapun tak mengajakku kalau ke tempat itu. Kami akhirnya keluar dari tempat Multazam itu, dan terus menuju rombongan teman kami semua.
Di sini kutatap lagi bangunan Kakbah dengan penuh haru. Terpikir di benakku bahwa inilah kali terakhir saya memandang Kakbah dalam perjalanan ini. Saya akan pergi meninggalkannya. Saya tidak akan melihat Kakbah ini lagi esok hari. Entah kapan baru saya bisa kemari lagi. Tapi menurut biasanya, untuk kembali ke sini, bukanlah sesuatu yang mudah. Jarak negeri saya dengan Mekkah ini amatlah jauh. Sejauh seperlima lingkaran bumi. Dan bagi jemaah yang sudah ke sini pada tahun-tahun sebelumnya, hanya sebagian kecil saja yang bisa kembali lagi ke sini. Termasuk ayah dan ibu saya, termasuk nenek saya juga tak mampu ke sini untuk kedua kalinya. Memang amat jauh ke negeri Mekkah ini. Terbayang semua perjuangan nabi Muhammad untuk menguasai kota ini dan juga Kakbah ini pada zaman dahulu. Hingga sekarang telah menjadi negeri Islam yang makmur, yang amat diberkahi oleh tuhan. Tapi siang inilah saya terakhir kalinya berada di sini. Tugas terakhir untuk perjalanan haji, yaitu tawaf wada, telah kami lakukan. Semuanya sudah selesai kami laksanakan. Dalam perjalanan untuk meninggalkan Kakbah ini, disunnahkan pula untuk tidak membelakanginya, disunnahkan untuk melambaikan tangan. Melambaikan tangan untuk Baitullah saat pergi meninggalkannya. Semua orang yang saya lihat sebelumnya, semuanya menangis meninggalkan Kakbah ini. Dan saya, apakah saya akan menangis? Mampukah saya untuk tidak menangis? Sekarang saja air mataku sudah mulai terseret keluar. Hatiku terasa kosong, tak ada lagi yang perlu kupikirkan saat semuanya telah selesai kami lakukan. Tak ada lagi yang akan diperbuat. Saat-saat berada di sisi Kakbah sudah berakhir. Langkah untuk pulang sudah dimulai. Semua saling mengingatkan untuk tidak membelakangi Kakbah yang mulia, semua saling mengingatkan agar jangan lupa melambaikan tangan pada Kakbah. Wajah-wajah temanku nampak sangat sedih, seakan tak ada yang ingin
berpisah dengan tempat yang dimuliakan ini. Semua mata temanku nampak sudah mulai berlinang air mata, begitu juga saya. Saya yang merasa kekar, merasa selalu sebagai pelindung pada istriku, begitu juga teman-temanku, tapi saat ini telah menjadi seorang yang takluk atas kaharuan berpisah dengan Kakbah. Mataku sudah mulai terasa basah
karena sedihnya. Air mata tak tertahankan, mengalir membasahi pipiku, bibirku terasa kelu. Kami semua diam, tak ada lagi yang mampu mengukir kata dari bibirnya. Hati masing-masing saling mengerti, bahwa ini saat-saat paling mengharukan dalam perjalan
kami. Air mata terus mengalir perlahan-lahan. Mengalir sebagai pertanda bahwa rupanya saya sangat mencintai Baitullah. Saya sangat menyanginya. Saya masih ingin kembali lagi ke sini. Saya berdo'a pada tuhan saat berjalan mundur meninggalkan Baitullah. Berjalan meninggalkannya sebab semua telah usai dikerjakan. Pekerjaan haji telah selesai kami laksanakan, atas panggilan tuhanku. Atas suruhan tuhan yang tertulis di dalam kitab suci. Tapi semuanya telah merupakan titik penghabisan di saat ini.
Setelah kami sudah berada di ujung lapangan tawaf, kami masih terus melambaikan tangan ke Kakbah. Hingga dirasa sudah agak jauh. Begitu saya berhenti melambaikan tangan, serentak pula kami memalingkan wajah dari memandangnya. Kami pergi mengikuti langkah kaki yang semakin menjauh. Selamat tinggal Kakbah. Semoga tuhan masih mengizinkan saya untuk bisa kembali lagi, walau itu semua merupakan sesuatu yang tak mudah. Kami pergi dengan perasaan puas telah selesai dengan beban
kewajiban dalam agamaku. Pergi dengan rasa haru akan berpisah dengan Baitullah. Dan terucap di bibir untuk terakhir kalinya, "Selamat berpisah dengan Kakbah. Semoga masih ada waktu dan kesempatan untuk kembali lagi. Semoga tuhan mengabulkan keinginanku dan semua jamaah lainnya, dan juga semua kaum muslimin secara keseluruhan. Amin".
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini
Setelah kami semua berkumpul kembali, saya hanya menatap Kakbah dengan penuh haru. Pak tua yang mulanya sakit-sakitan, kini sudah nampak sangat sehat. Nampaknya dia sudah tidak punya penyakit apa-apa lagi saking sehatnya. Dia sangat ambisi ingin menjelajah bagian-bagian penting di Kakbah ini. Sampai-sampai ia mengajak kami untuk pergi ke daerah Multazam yang biasa dikenal orang dengan sebutan Pintu Emas Kakbah. Pak tua berada juga pada bagian depan untuk pergelutan menuju Multazam ini. Istrinya, istri saya dan perempuan lainnya sengaja kami suruh untuk menunggu di bagian yang agak lapang di sekitar pintu keluar dari Hijr Ismail. Kami berjalan perlahan-lahan di antara jamaah yang semuanya berebutan menuju Multazam. Pak tua sangat lincah sekali di tengah manusia yang banyak ini. Saya dan Bapak setengah tua bahkan tertinggal di belakang. Saya hampir saja menganggap tak mampu, tapi pak tua menarikku dengan menyeret tanganku. Dia amat kuat di siang hari ini. Saya benar-benar menjadi seorang yang butuh pertolongan saat ini. Bapak setengah tua menjadi tertinggal jauh di bagian belakang. Dengan tolongan tuhan, pak tua yang membantuku untuk sampai ke daerah Multazam. Saya dan dia sempat berada menempel di dinding Kakbah, di dinding Multazam yang terbuat dari emas. Saya berdiri menghadap Kakbah. Tanganku sempat meraih satu sisi beton yang terdapat di pintu itu. Saya benar-benar tidak menyangka akan sampai di sini. Pak tua segera memanggil-manggil Bapak setengah tua. Ia mengulurkan tangannya dengan maksud akan menarik Bapak setengah tua, tapi apa daya tangan mereka berdua tak kesampaian. Bapak setengah tua semakin jauh terbawa ombak jamaah yang ramai. Hingga akhirnya Bapak setengah tua nampak putus asa. Dia mundur dan kembali pergi bergabung dengan rombongan istrinya.
Saya sempat bermunajat atau berdo'a banyak pada tuhan di salah satu tempat makbul ini. Mendo'akan semua saudaraku, teman-temanku, orang tuaku, mertuaku, famili-familiku dan juga yang lainnya. Kucurahkan semua yang kuharapkan pada tuhan. Meminta apa yang teringat di benakku, dengan sangat khidmat.
Setelah selesai melakukan munajat atau berdo'a di Multazam, saya masih sempat melihat ke sisi sebelah kiriku, orang-orang yang bergelut memperebutkan untuk sampai ke Hajr Aswat. Kulihat semakin hebat juga pergelutannya. Saya tidak berniat untuk pergi ke Hajr Aswat itu jadinya, apalagi untuk ke tempat itu hanya sunnah saja hukumnya. Kulihat dari situasinya, hanya akan mengundang bahaya karena ramainya jamaah yang berebutan. Pak tuapun tak mengajakku kalau ke tempat itu. Kami akhirnya keluar dari tempat Multazam itu, dan terus menuju rombongan teman kami semua.
Di sini kutatap lagi bangunan Kakbah dengan penuh haru. Terpikir di benakku bahwa inilah kali terakhir saya memandang Kakbah dalam perjalanan ini. Saya akan pergi meninggalkannya. Saya tidak akan melihat Kakbah ini lagi esok hari. Entah kapan baru saya bisa kemari lagi. Tapi menurut biasanya, untuk kembali ke sini, bukanlah sesuatu yang mudah. Jarak negeri saya dengan Mekkah ini amatlah jauh. Sejauh seperlima lingkaran bumi. Dan bagi jemaah yang sudah ke sini pada tahun-tahun sebelumnya, hanya sebagian kecil saja yang bisa kembali lagi ke sini. Termasuk ayah dan ibu saya, termasuk nenek saya juga tak mampu ke sini untuk kedua kalinya. Memang amat jauh ke negeri Mekkah ini. Terbayang semua perjuangan nabi Muhammad untuk menguasai kota ini dan juga Kakbah ini pada zaman dahulu. Hingga sekarang telah menjadi negeri Islam yang makmur, yang amat diberkahi oleh tuhan. Tapi siang inilah saya terakhir kalinya berada di sini. Tugas terakhir untuk perjalanan haji, yaitu tawaf wada, telah kami lakukan. Semuanya sudah selesai kami laksanakan. Dalam perjalanan untuk meninggalkan Kakbah ini, disunnahkan pula untuk tidak membelakanginya, disunnahkan untuk melambaikan tangan. Melambaikan tangan untuk Baitullah saat pergi meninggalkannya. Semua orang yang saya lihat sebelumnya, semuanya menangis meninggalkan Kakbah ini. Dan saya, apakah saya akan menangis? Mampukah saya untuk tidak menangis? Sekarang saja air mataku sudah mulai terseret keluar. Hatiku terasa kosong, tak ada lagi yang perlu kupikirkan saat semuanya telah selesai kami lakukan. Tak ada lagi yang akan diperbuat. Saat-saat berada di sisi Kakbah sudah berakhir. Langkah untuk pulang sudah dimulai. Semua saling mengingatkan untuk tidak membelakangi Kakbah yang mulia, semua saling mengingatkan agar jangan lupa melambaikan tangan pada Kakbah. Wajah-wajah temanku nampak sangat sedih, seakan tak ada yang ingin
berpisah dengan tempat yang dimuliakan ini. Semua mata temanku nampak sudah mulai berlinang air mata, begitu juga saya. Saya yang merasa kekar, merasa selalu sebagai pelindung pada istriku, begitu juga teman-temanku, tapi saat ini telah menjadi seorang yang takluk atas kaharuan berpisah dengan Kakbah. Mataku sudah mulai terasa basah
karena sedihnya. Air mata tak tertahankan, mengalir membasahi pipiku, bibirku terasa kelu. Kami semua diam, tak ada lagi yang mampu mengukir kata dari bibirnya. Hati masing-masing saling mengerti, bahwa ini saat-saat paling mengharukan dalam perjalan
kami. Air mata terus mengalir perlahan-lahan. Mengalir sebagai pertanda bahwa rupanya saya sangat mencintai Baitullah. Saya sangat menyanginya. Saya masih ingin kembali lagi ke sini. Saya berdo'a pada tuhan saat berjalan mundur meninggalkan Baitullah. Berjalan meninggalkannya sebab semua telah usai dikerjakan. Pekerjaan haji telah selesai kami laksanakan, atas panggilan tuhanku. Atas suruhan tuhan yang tertulis di dalam kitab suci. Tapi semuanya telah merupakan titik penghabisan di saat ini.
Setelah kami sudah berada di ujung lapangan tawaf, kami masih terus melambaikan tangan ke Kakbah. Hingga dirasa sudah agak jauh. Begitu saya berhenti melambaikan tangan, serentak pula kami memalingkan wajah dari memandangnya. Kami pergi mengikuti langkah kaki yang semakin menjauh. Selamat tinggal Kakbah. Semoga tuhan masih mengizinkan saya untuk bisa kembali lagi, walau itu semua merupakan sesuatu yang tak mudah. Kami pergi dengan perasaan puas telah selesai dengan beban
kewajiban dalam agamaku. Pergi dengan rasa haru akan berpisah dengan Baitullah. Dan terucap di bibir untuk terakhir kalinya, "Selamat berpisah dengan Kakbah. Semoga masih ada waktu dan kesempatan untuk kembali lagi. Semoga tuhan mengabulkan keinginanku dan semua jamaah lainnya, dan juga semua kaum muslimin secara keseluruhan. Amin".
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini
Monday, June 16, 2008
ISLAM IS THE BEST
Only Koran is the best book. Why do I say like that. Because I have read many Books. Such as The Sea, by Ernest Hamingway from America. And many other Books. But when I read Koran, I found something else, peace, knowledge, and many other that will not find in the other Books. I believe that Koran is from a God. Nothing by human, even a word. That's why I choose Islam. Cause the book. Everybody can proof it. If he likes.
By Mr. Tanjung panyabungan.
By Mr. Tanjung panyabungan.
Friday, June 13, 2008
PESAWAT GARUDA ROUTE POLONI KING ABDUL AZIZ (1)
PESAWAT GARUDA ROUTE POLONIA KING ABDUL AZIZ
Ketika saya menaiki pesawat Garuda di pagi itu. Yaitu pada tanggal 04-02-2002. Di saat inilah pertama kalinya saya menaiki pesawat terbang. Yaitu ketika usia saya masih menjelang 31 tahun. Semuanya merupakan sesuatu yang baru bagi saya, termasuk melihat semua yang ada dalam pesawat itu, termasuk model tempat duduknya, melihat bagasinya, melihat peralatan-peralatannya, melihat kamar mandinya, melihat banyaknya lorong-lorong maupun kamar-kamar yang ada di dalam pesawat itu, serta melihat semua sarana yang ada di dalamnya.
Saya duduk di kursi nomor 122. Di depan saya ada merk Garuda Indonesia. Tulisan itu ditempelkan saja seperti sticker. Rasa ingin tahu saya muncul. Lalu kucongkel merek tersebut. Ternyata di balik merek itu ada tulisan Atlanta Airlines. Tak tahu pasti apakah pesawat itu milik Atlanta, atau milik Atlanta yang disewa oleh Garuda Indonesia, atau yang sengaja dibeli Garuda dari Atlanta Airlines sebagai barang second. Tapi begitulah keadaaan yang saya temukan. Lalu sticker itu kurapikan kembali. Sehingga tak ada lagi bekas congkelan yang tersisa.
Ketika semua penumpang pesawat telah mendapat tempat duduknya masing-masing, mulailah pramugari menerangkan semua tata tertib yang semestinya kami ketahui. Termasuk pengenalan situasi gawat darurat, pengggunaan alat-alat pernafasan apabila pesawat mendapat masalah yang tak diinginkan, dan juga menunjukkkan pintu-pintu darurat yang telah tersedia di dalam pesawat itu.
Mereka menerangkannya dengan bahasa Indonesia serta dengan gerak tangan yang membantu mengerti bagi yang kurang pendengaran. Pramugarinya, seluruhnya berkebangsaan Indonesia. Cuma pilotnya saja yang berkebangsaan Inggeris. Setelah semua yang perlu sudah disampaikan pada seluruh calon jemaah haji. Pesawatpun tinggal landas dari bandara Polonia Medan Indonesia. Lalu kuperiksa arlojiku yang memang dilengkapi Compass. Ternyata arah depan pesawat adalah arah Aceh. Begitu terdengar suara dari mickropon, yang memberitahukan bahwa kami sedang berada di atas daratan Aceh, Pesawatpun terasakan membelok ke arah kiri, yaitu menuju arah barat atau tujuan Arab Saudi. Sesuai dengan arah jarum compass yang kubawa.
Di sepanjang perjalanan ini, memang ada juga daaerah-daaerah yang kosong udara yang kami lalui. Rasanya seperti naik bus yang berjalan di atas jalan bebatuan. Begitulah perasaan saya bila pesawat sedang melewati udara hampa. Tapi bila pesawat sedang melintas di udara yang normal atau tidak hampa udara, sepertinya pesawat sedang tidak berjalan karena tenangnya.
Ketika angin datang dari samping kiri, kurasakan bagian depan pesawat kami seperti menyongsong arah angin tersebut pula sedikit ke arah kiri. Memang logika sekali untuk mempertahankan garis perjalanan pesawat. Yaitu untuk menghindari agar pesawat tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh penerbangan.
Sebelum berangkat tadi, pramugari sempat juga menunjukkan kepada kami, mana lampu darurat. Lampu itu ada dua. Bila tingkat bahayanya kecil, akan hidup lampu kuning. Bila tingkat bahayanya besar, akan hidup lampu merah. Begitulah kata pramugari. Dan memang di perjalanan itu, sering juga lampu kuning menyala.Tapi saya cuma berpedoman pada wajah-wajah pramugari yang sengaja melintasi para penumpang untuk melayani dengan memberi berbagai jenis minuman, snack dan juga makan siang dan sore. Ketika lampu kuning menyala untuk pertama kalinya. Yang kuperhatikan pertama-tama adalah wajah pramugarinya. Kulihat dia merasa biasa-biasa saja. Jadi sayapun beranggapan bahwa keadaan itu masih tergolong yang biasa. Kalaulah itu sudah benar-benar sesuatu yang perlu ditakutkan, tentu pramugarinya pun akan takut. Ia pun pasti takut kalau sudah benar-benar bahaya. pikirku dalam hati.
Pernah juga lampu merah menyala selama kurang lebih satu menit. Tapi saat itu, tak satupun pramugari yang sedang berada di dalam ruangan kami. Saya jadi takut juga. Untunglah tidak terlalu lama. Hampir semua calon jemaah haji sudah bermuka pucat waktu itu. Tapi saya terus ingat apa yang kutuju dalam perjalanan haji itu. Saya hanya memenuhi panggilan Tuhan. Tuhan pasti memberi jalan yang terbaik buat saya. Walaupun sekiranya hidup harus berakhir di situ, saya sudah serahkan semua pada Yang Kuasa. Selama inipun Tuhan yang memberi saya makan. Jika saya sudah tiada nantipun, pasti Tuhan juga yang memberi anak-anak saya makan.
Waktu itu saya masih mempunyai anak tiga. Dua perempuan dan satu laki-laki. Sementara yang sulung masih berumur kira-kira lima tahun. Tapi ketika saya kembali dari Makkah, saya dikarunia oleh Tuhan seorang anak laki-laki lagi. Jadi anak saya yang laki-laki, ada dua orang ketika saya menuliskan cerita ini. Cerita ini kutulis tahun 2008. Tepat ketika kejadian ini sudah berlalu 6 tahun lamanya.
Kembali kita ke cerita di dalam pesawat tadi. Keadaan dengan lampu merah, hanya sebentar saja. Dan telah berubah lagi warnanya ke lampu kuning. Begitulah keadaan berganti-ganti. Tapi dalam perjalanan itu, tentu lebih banyak yang dalam keadaan tenang. Tanpa ada lampu darurat yang menyala. Begitulah perjalanann yang saya alami selama kira-kira 9 jam kurang 5 menit itu.
Dalam situasi tenang. Tentu kita akan merasa biasa-biasa saja. Kita bisa berjalan dari tempat kita menuju toilet tanpa berpegangan pada kursi-kursi penumpang yang kita lalui. Tapi kalau lampu kuning sedang menyala, memang agak terasa goyang. Kita tidak bisa berdiri tanpa berpegangan. Apalagi sedang berjalan. Tapi lama waktu yang kami lalui pada perjalanan itu, 90%nya adalah dalam keadaan tenang. 10%nya diwarnai lampu kuning. Dan sekitar 1 menit, terpaksa harus gemetar dengan menyalanya lampu merah. Begitulah persentase keadaan dalam penerbangan kami.
Bila dalam keadaan lampu merah, memang amat terasa goyang. Ada juga yang sempat muntah karenanya. Termasuk istri saya. Perasaan takut, ada juga terlahir karena keadaan itu. Ada juga memang sedikit khawatir, apalagi semua teman seperjalan sudah bermuka pucat. Dan banyak lagi yang sudah sempat membaca surat Yasin atau ayat Qur’an secara berjamaah karena takutnya. Tapi itu rupanya sudah terbiasa dalam sebuah penerbangan. Kita tak perlu takut lagi. Apalagi ketenangan pun banyak juga kita dapatkan di dalam pesawat itu. Kita sedang menuju Tuhan. Di pesawat itu kita dilayani dengan begitu bagus sekali. Dari dalam pesawat itu kita bisa memandang awan putih yang tiada batas. Kadang kalau udara sedang cerah, daratan duniapun dapat dilihat dengan jelas dari pesawat itu. Kapal laut nampak berlayar di tengah samudera. Mobil-mobil berukuran besar nampak berjalan di jalan raya. Entah di negara mana itu berada. Sesuatu pemandangan yang tak pernah kelihatan kecuali kita sedang ada di udara. Ketakutan tadi cuma karena kurangnya pengalaman. Tak pernah ada yang bercerita kepada saya sebelumnya. Untuk itu kutuliskan cerita ini. Semoga berguna bagi siapa saja yang membacanya.
Sebelum perjalanan haji ini, saya telah menulis surat wasiat dengan apa yang saya miliki secara keseluruhan di kampung saya. Tak ada lagi urusan saya yang belum selesai sepanjang pengetahuan saya. Usaha bisnis saya pun sengaja saya hentikan untuk sementara waktu. Begitulah sekilas cerita saya ketika ada di dalam pesawat terbang dengan route Medan-Jeddah. Perjalanan yang takkan mungkin terlupakan sampai akhir hayat. Dan semoga siapapun yang membaca tulisan saya ini, akan mengerti keadaan di pesawat. Juga punya peluang dan kesempatan untuk melaksanakan haji ke baitullah. Begitu juga yang belum membacanya. Umumnya seluruhnya kaum muslimin. Amin ya Robbal alamin.
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini
Ketika saya menaiki pesawat Garuda di pagi itu. Yaitu pada tanggal 04-02-2002. Di saat inilah pertama kalinya saya menaiki pesawat terbang. Yaitu ketika usia saya masih menjelang 31 tahun. Semuanya merupakan sesuatu yang baru bagi saya, termasuk melihat semua yang ada dalam pesawat itu, termasuk model tempat duduknya, melihat bagasinya, melihat peralatan-peralatannya, melihat kamar mandinya, melihat banyaknya lorong-lorong maupun kamar-kamar yang ada di dalam pesawat itu, serta melihat semua sarana yang ada di dalamnya.
Saya duduk di kursi nomor 122. Di depan saya ada merk Garuda Indonesia. Tulisan itu ditempelkan saja seperti sticker. Rasa ingin tahu saya muncul. Lalu kucongkel merek tersebut. Ternyata di balik merek itu ada tulisan Atlanta Airlines. Tak tahu pasti apakah pesawat itu milik Atlanta, atau milik Atlanta yang disewa oleh Garuda Indonesia, atau yang sengaja dibeli Garuda dari Atlanta Airlines sebagai barang second. Tapi begitulah keadaaan yang saya temukan. Lalu sticker itu kurapikan kembali. Sehingga tak ada lagi bekas congkelan yang tersisa.
Ketika semua penumpang pesawat telah mendapat tempat duduknya masing-masing, mulailah pramugari menerangkan semua tata tertib yang semestinya kami ketahui. Termasuk pengenalan situasi gawat darurat, pengggunaan alat-alat pernafasan apabila pesawat mendapat masalah yang tak diinginkan, dan juga menunjukkkan pintu-pintu darurat yang telah tersedia di dalam pesawat itu.
Mereka menerangkannya dengan bahasa Indonesia serta dengan gerak tangan yang membantu mengerti bagi yang kurang pendengaran. Pramugarinya, seluruhnya berkebangsaan Indonesia. Cuma pilotnya saja yang berkebangsaan Inggeris. Setelah semua yang perlu sudah disampaikan pada seluruh calon jemaah haji. Pesawatpun tinggal landas dari bandara Polonia Medan Indonesia. Lalu kuperiksa arlojiku yang memang dilengkapi Compass. Ternyata arah depan pesawat adalah arah Aceh. Begitu terdengar suara dari mickropon, yang memberitahukan bahwa kami sedang berada di atas daratan Aceh, Pesawatpun terasakan membelok ke arah kiri, yaitu menuju arah barat atau tujuan Arab Saudi. Sesuai dengan arah jarum compass yang kubawa.
Di sepanjang perjalanan ini, memang ada juga daaerah-daaerah yang kosong udara yang kami lalui. Rasanya seperti naik bus yang berjalan di atas jalan bebatuan. Begitulah perasaan saya bila pesawat sedang melewati udara hampa. Tapi bila pesawat sedang melintas di udara yang normal atau tidak hampa udara, sepertinya pesawat sedang tidak berjalan karena tenangnya.
Ketika angin datang dari samping kiri, kurasakan bagian depan pesawat kami seperti menyongsong arah angin tersebut pula sedikit ke arah kiri. Memang logika sekali untuk mempertahankan garis perjalanan pesawat. Yaitu untuk menghindari agar pesawat tidak keluar dari jalur yang telah ditentukan oleh penerbangan.
Sebelum berangkat tadi, pramugari sempat juga menunjukkan kepada kami, mana lampu darurat. Lampu itu ada dua. Bila tingkat bahayanya kecil, akan hidup lampu kuning. Bila tingkat bahayanya besar, akan hidup lampu merah. Begitulah kata pramugari. Dan memang di perjalanan itu, sering juga lampu kuning menyala.Tapi saya cuma berpedoman pada wajah-wajah pramugari yang sengaja melintasi para penumpang untuk melayani dengan memberi berbagai jenis minuman, snack dan juga makan siang dan sore. Ketika lampu kuning menyala untuk pertama kalinya. Yang kuperhatikan pertama-tama adalah wajah pramugarinya. Kulihat dia merasa biasa-biasa saja. Jadi sayapun beranggapan bahwa keadaan itu masih tergolong yang biasa. Kalaulah itu sudah benar-benar sesuatu yang perlu ditakutkan, tentu pramugarinya pun akan takut. Ia pun pasti takut kalau sudah benar-benar bahaya. pikirku dalam hati.
Pernah juga lampu merah menyala selama kurang lebih satu menit. Tapi saat itu, tak satupun pramugari yang sedang berada di dalam ruangan kami. Saya jadi takut juga. Untunglah tidak terlalu lama. Hampir semua calon jemaah haji sudah bermuka pucat waktu itu. Tapi saya terus ingat apa yang kutuju dalam perjalanan haji itu. Saya hanya memenuhi panggilan Tuhan. Tuhan pasti memberi jalan yang terbaik buat saya. Walaupun sekiranya hidup harus berakhir di situ, saya sudah serahkan semua pada Yang Kuasa. Selama inipun Tuhan yang memberi saya makan. Jika saya sudah tiada nantipun, pasti Tuhan juga yang memberi anak-anak saya makan.
Waktu itu saya masih mempunyai anak tiga. Dua perempuan dan satu laki-laki. Sementara yang sulung masih berumur kira-kira lima tahun. Tapi ketika saya kembali dari Makkah, saya dikarunia oleh Tuhan seorang anak laki-laki lagi. Jadi anak saya yang laki-laki, ada dua orang ketika saya menuliskan cerita ini. Cerita ini kutulis tahun 2008. Tepat ketika kejadian ini sudah berlalu 6 tahun lamanya.
Kembali kita ke cerita di dalam pesawat tadi. Keadaan dengan lampu merah, hanya sebentar saja. Dan telah berubah lagi warnanya ke lampu kuning. Begitulah keadaan berganti-ganti. Tapi dalam perjalanan itu, tentu lebih banyak yang dalam keadaan tenang. Tanpa ada lampu darurat yang menyala. Begitulah perjalanann yang saya alami selama kira-kira 9 jam kurang 5 menit itu.
Dalam situasi tenang. Tentu kita akan merasa biasa-biasa saja. Kita bisa berjalan dari tempat kita menuju toilet tanpa berpegangan pada kursi-kursi penumpang yang kita lalui. Tapi kalau lampu kuning sedang menyala, memang agak terasa goyang. Kita tidak bisa berdiri tanpa berpegangan. Apalagi sedang berjalan. Tapi lama waktu yang kami lalui pada perjalanan itu, 90%nya adalah dalam keadaan tenang. 10%nya diwarnai lampu kuning. Dan sekitar 1 menit, terpaksa harus gemetar dengan menyalanya lampu merah. Begitulah persentase keadaan dalam penerbangan kami.
Bila dalam keadaan lampu merah, memang amat terasa goyang. Ada juga yang sempat muntah karenanya. Termasuk istri saya. Perasaan takut, ada juga terlahir karena keadaan itu. Ada juga memang sedikit khawatir, apalagi semua teman seperjalan sudah bermuka pucat. Dan banyak lagi yang sudah sempat membaca surat Yasin atau ayat Qur’an secara berjamaah karena takutnya. Tapi itu rupanya sudah terbiasa dalam sebuah penerbangan. Kita tak perlu takut lagi. Apalagi ketenangan pun banyak juga kita dapatkan di dalam pesawat itu. Kita sedang menuju Tuhan. Di pesawat itu kita dilayani dengan begitu bagus sekali. Dari dalam pesawat itu kita bisa memandang awan putih yang tiada batas. Kadang kalau udara sedang cerah, daratan duniapun dapat dilihat dengan jelas dari pesawat itu. Kapal laut nampak berlayar di tengah samudera. Mobil-mobil berukuran besar nampak berjalan di jalan raya. Entah di negara mana itu berada. Sesuatu pemandangan yang tak pernah kelihatan kecuali kita sedang ada di udara. Ketakutan tadi cuma karena kurangnya pengalaman. Tak pernah ada yang bercerita kepada saya sebelumnya. Untuk itu kutuliskan cerita ini. Semoga berguna bagi siapa saja yang membacanya.
Sebelum perjalanan haji ini, saya telah menulis surat wasiat dengan apa yang saya miliki secara keseluruhan di kampung saya. Tak ada lagi urusan saya yang belum selesai sepanjang pengetahuan saya. Usaha bisnis saya pun sengaja saya hentikan untuk sementara waktu. Begitulah sekilas cerita saya ketika ada di dalam pesawat terbang dengan route Medan-Jeddah. Perjalanan yang takkan mungkin terlupakan sampai akhir hayat. Dan semoga siapapun yang membaca tulisan saya ini, akan mengerti keadaan di pesawat. Juga punya peluang dan kesempatan untuk melaksanakan haji ke baitullah. Begitu juga yang belum membacanya. Umumnya seluruhnya kaum muslimin. Amin ya Robbal alamin.
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini
MENCARI PENJUAL JACKET (16)
Saya memakai kaus kaki dengan sandal rangkai. Tangan kubalut dengan kaus tangan yang amat tebal. Yang memang sengaja kubawa dari negara saya. Sebab sudah tahu lebih dulu bahwa di negeri yang saya tuju ini, sedang berada pada musim dingin. Teman-teman sayapun semua pakai jacket. Termasuk istri saya. Cuma seorang saja yang tak memakai jacket. Tapi kami sudah berniat akan mencari dan membelinya.
Di depan hotel itu, kami mulai menghapal situasi. Mengahapal bagaimana bentuk depan hotel yang kami tempati. Agar bila kami pulang nanti, kami tidak kesulitan mengenali hotel kami. Ku baca merek yang ada di Hotel kami. Tulisannya tulis Arabia.. SAYYID HOTEL. Itulah namanya. Sebuah hotel berlantai 4. Yang ada sekitar 3 km di sebalah selatan masjid Nabawi, Medinah.
Ku sarankan kepada seluruhnya teman-teman agar saling memperhatikan jalan-jalan yang kami lalui. Sebab kami yang akan berangkat ini tanpa pemandu. Kami semua yang seperjalanan itu, baru pertama kali ini menginjakkan kaki di bumi Arabia itu. Bagi yang punya buku note, segera mengambil dan menuliskan apa yang perlu, sebagai pengingat akan tempat ini.
Ku pandangi bangunan-bangunan yang mencakar langit yang ada di sekitar saya. Semuanya bergaya arsitektur Arabia bercampur barat. Amat indah. Amat modern.
Perjalanan kami mulai menelusuri simpang demi simpang di tengah kota itu. Jalan-jalan yang dilalui, diingat dengan sebagus bagusnya. Kenderaannnya boleh dibilang ramai. Kami mencatat seua jalan yang dilalaui. Agar tidak kesasar nantinya. Mana yang kira kira tak bisa diingat, segera di catat buku catatan. Sesekali kulirik compass yang kubawa. Sedang dimana kami berada, sedang ke arah mana kami sedang berjalan kaki. Begitulah kadaaan kami pada waktu itu.
Setelah berjalan sekitar 1 km melintasi kota Madinah yang indah itu, kami menemui sebuah toko Pakaian. Yang nampaknya juga menyediakan barang dagangan seperti Jacket. Tak ada di antara teman saya yang mau mendahului saya. Mungkin karena mereka berharap saya yang akan menanya harganya Sebab mereka tak bisa berbahasa International..
Ketika kutanya, dan jawaban harga telah kami terima, rupanya jacket yang dipajang itu berharga 175 Riyal. (525.000 Rupiah) pada saat itu. Kami tersentak mendengarnya. Karena biasanya jacket seperti itu, biasanya dijual dengan harga 50.000, di Indonesia. Lalu kutanya lagi jenis-jenis lain. Tapi sekitar harga segitulah harga yang paling murah. Bapak setengah tua itu, nampak loyo. Dia kedinginan. Tapi tak berminat untuk membelinya. Nampaknya dia lebih suka menahankan dinginnya hari itu daripada harus membayar jacket dangan harga semahal itu. Istrinya juga berpendirinan begitu. Hingga akhirnya kami tidak lagi berencana menanya harga jaket ke tempat lain. Kami memutuskan untuk kembali ke Hotel saja. Dia berniat akan memakai baju berlapis lapis, dari pada harus membeli pakaian yang sesuai dengan harga di Saudi di musim dingin. Tapi dia sajalah yang berpikiran begitu. Kalau sekiranya dia jadi saya. Saya lebih sayang pada diri saya dari pada uang saya. Tapi memang begitulah ragam coraknya manusia. Tuhan maha kuasa dengan ragamnya ciptaannya di bumi ini.
Kami kembali berjalan kaki menuju hotel. Persimpangan yang dilalui sudah sekitar lima kali membelok. Pada mulanya kami agak ragu juga di mana jalan menuju hotel kami. Padahal sudah diingat secara bersama-sama pada pagi itu. Saya sendiri hampir lupa mana hotel kami. Karena merek yang tertulis pada Hotel kami Cuma tulisan Arab. Saya sendiri kurang fasih membacanya.
Sesampai di hotel, Cuma lelaki setengah tua ini saja lah yang kami tunggu.Dia sengaja memasuki hotel untuk menambah bajunya menjadi entah berapa lapis. Setelah selesai dengan rencananya barulahkami pergi melaksanakan rencana selanjutnya.
Ditulis oleh Mr. Tanjung Panyabungan.
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini
Di depan hotel itu, kami mulai menghapal situasi. Mengahapal bagaimana bentuk depan hotel yang kami tempati. Agar bila kami pulang nanti, kami tidak kesulitan mengenali hotel kami. Ku baca merek yang ada di Hotel kami. Tulisannya tulis Arabia.. SAYYID HOTEL. Itulah namanya. Sebuah hotel berlantai 4. Yang ada sekitar 3 km di sebalah selatan masjid Nabawi, Medinah.
Ku sarankan kepada seluruhnya teman-teman agar saling memperhatikan jalan-jalan yang kami lalui. Sebab kami yang akan berangkat ini tanpa pemandu. Kami semua yang seperjalanan itu, baru pertama kali ini menginjakkan kaki di bumi Arabia itu. Bagi yang punya buku note, segera mengambil dan menuliskan apa yang perlu, sebagai pengingat akan tempat ini.
Ku pandangi bangunan-bangunan yang mencakar langit yang ada di sekitar saya. Semuanya bergaya arsitektur Arabia bercampur barat. Amat indah. Amat modern.
Perjalanan kami mulai menelusuri simpang demi simpang di tengah kota itu. Jalan-jalan yang dilalui, diingat dengan sebagus bagusnya. Kenderaannnya boleh dibilang ramai. Kami mencatat seua jalan yang dilalaui. Agar tidak kesasar nantinya. Mana yang kira kira tak bisa diingat, segera di catat buku catatan. Sesekali kulirik compass yang kubawa. Sedang dimana kami berada, sedang ke arah mana kami sedang berjalan kaki. Begitulah kadaaan kami pada waktu itu.
Setelah berjalan sekitar 1 km melintasi kota Madinah yang indah itu, kami menemui sebuah toko Pakaian. Yang nampaknya juga menyediakan barang dagangan seperti Jacket. Tak ada di antara teman saya yang mau mendahului saya. Mungkin karena mereka berharap saya yang akan menanya harganya Sebab mereka tak bisa berbahasa International..
Ketika kutanya, dan jawaban harga telah kami terima, rupanya jacket yang dipajang itu berharga 175 Riyal. (525.000 Rupiah) pada saat itu. Kami tersentak mendengarnya. Karena biasanya jacket seperti itu, biasanya dijual dengan harga 50.000, di Indonesia. Lalu kutanya lagi jenis-jenis lain. Tapi sekitar harga segitulah harga yang paling murah. Bapak setengah tua itu, nampak loyo. Dia kedinginan. Tapi tak berminat untuk membelinya. Nampaknya dia lebih suka menahankan dinginnya hari itu daripada harus membayar jacket dangan harga semahal itu. Istrinya juga berpendirinan begitu. Hingga akhirnya kami tidak lagi berencana menanya harga jaket ke tempat lain. Kami memutuskan untuk kembali ke Hotel saja. Dia berniat akan memakai baju berlapis lapis, dari pada harus membeli pakaian yang sesuai dengan harga di Saudi di musim dingin. Tapi dia sajalah yang berpikiran begitu. Kalau sekiranya dia jadi saya. Saya lebih sayang pada diri saya dari pada uang saya. Tapi memang begitulah ragam coraknya manusia. Tuhan maha kuasa dengan ragamnya ciptaannya di bumi ini.
Kami kembali berjalan kaki menuju hotel. Persimpangan yang dilalui sudah sekitar lima kali membelok. Pada mulanya kami agak ragu juga di mana jalan menuju hotel kami. Padahal sudah diingat secara bersama-sama pada pagi itu. Saya sendiri hampir lupa mana hotel kami. Karena merek yang tertulis pada Hotel kami Cuma tulisan Arab. Saya sendiri kurang fasih membacanya.
Sesampai di hotel, Cuma lelaki setengah tua ini saja lah yang kami tunggu.Dia sengaja memasuki hotel untuk menambah bajunya menjadi entah berapa lapis. Setelah selesai dengan rencananya barulahkami pergi melaksanakan rencana selanjutnya.
Ditulis oleh Mr. Tanjung Panyabungan.
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini
MAKAN HAMBURGER DI DEPAN MESJID NABAWI(17)
17. MAKAN HAMBURGER DI DEPAN MESJID NABAWI (blog)
Ketika kami keluar dari hotel untuk kedua kalinya, jam sudah menunjukkan angka 10 pagi waktu Saudi Arabia. Perut sudah mulai kosong. Apalagi dalam keadaan dingin begitu. Tentu amat dibutuhkan banyak makanan sebagai penghangat tubuh.
Masih kuingat dulu apa kata orang-orang yang bercerita kepada saya ketika masih berada di Indonesia. Katanya, begitu pintu hotel dibuka., akan banyak kita lihat penjual nasi dan makanan-makanan Indonesia. Tapi nampaknya apa yang saya dengar itu bukan cerita yang benar. Mungkin saja itu benar pada tempatnya atau juga di tempat lain. Tapi pada tempat sekitar hotel kami, itu cerita yang tak ada buktinya. Kami sudah berjalan jauh ketika mencari jacket pada salah seorang teman yang kuceritakan tadi. Tapi tak ada satupun kami temui rumah makan atau pedagang yang menjual makanan orang Indonesia.
Masih beberapa langkah kami beranjak dari hotel, rombongan lain dari kelompok kami satu kloter segera kami lihat. Mereka datang dari arah depan. Katika semakin dekat, seorang dari teman saya bertanya pada mereka, apakah mereka sudah makan pagi. Mereka menjawab, belum. Memang dari keadaannya, mereka nampak agak pucat dan kelalahan. Mungkin karena belum makan pagi.
Perjalanan kami kali ini adalah menuju Masjidil Nabawi dan juga mencari makan pagi, serta membeli keperluan-keperluan lainnya. Di perjalanan ini, terbuktilah bagi saya bahwa jarak antara hotel saya dengan mesjid, ada sekitar 2,5 km. Jarak yang amat jauh. Apalagi untuk teman saya yang sering saya sebut “Pak tua”. Tapi karena penuhnya semangat, perjalanan jauh itu sepertinya tak merupakan beban berat bagi kami semua.
Ketika kami tiba di depan mesjid Nabawi, kami terus menuju pekarangannya yang amat luas. Seterusnya ingat apa kata guru kami dulu. Kalau hendak masuk ke mesjid Nabawi, hendaklah kita membaca satu do’a. Memang saya hanya bermaksud untuk masuk ke pekarangannya saja. Karena waktu sholat masih lama baru tiba. Tapi walaupun begitu, saya segera membaca doanya. Begini kira-kira arti do’a yang saya baca.
“DENGAN NAMA ALLAH DAN ATAS AGAMA RASULULLOH. YA ALLAH, MASUKKANLAH AKU DENGAN CARA MASUK YANG BENAR. DAN KELUARKAN PULA AKU DENGAN CARA YANG BENAR. DAN BERIKANLAH PADAKU DARI SISIMU, KEKUASAAN YANG DAPAT MENOLONG. YA ALLAH, LIMPAHKANLAH RAHMAT KEPADA JUNJUNGAN KAMI MUHAMMAD DAN KELUARGANYA. AMPUNILAH DOSAKU, BUKALAH PINTU RAHMATMU BAGIKU. DAN MASUKKANLAH AKU KE DALAMNYA. WAHAI TUHAN YANG MAHA PENGASIH DARI SEGALA YANG PENGSASIH”.
Di pekarangan mesjid yang amat luas itu, yang luasnya kira-kira selebar lapangan sepak bola, di situlah kami berada. Lapangan luas itu berlantai keramik berwarna biru. Kramik yang cukup halus dan mengkilat. Sementara di pinggir-pinggir lapangan itu, tersusun berderet toko-toko kecil yang menjual berbagai jenis keperluan. Ada yang menjual souvenir, ada yang menjual alat-alat ibadah seperti tasbih, sajadah, dan ada yang menjual pakaian muslim, menjual alat-alat keperluan dapur, dan berbagai macam lainnya. Tapi tentu semua barang-barang ini berbeda dengan model barang-barang di Indonesia. Hampir seluruhnya berbeda.
Sedemikianlah model pinggiran lapangan mesjid Nabawi itu. Sementara di lapangan pekarangan mesjid yang amat luas itu, banyak orang hilir mudik kesana-kemari. Ada yang melihat-lihat sambil menunggu waktu sholat. Ada yang seperti kami. Ada yang duduk-duduk, ada yang mengaji berduaan dengan istrinya. Ada yang terbaring terlentang di atas hamparan kramik yang luas dan bersih itu. Berbagai macam keadaan.
Ketika sedikit demi sedikit kami menelusuri pinggiran pekarangan mesjid itu, kami segera melihat satu toko penjual makanan. Di toko itu sedang banyak orang yang beli. Makanan yang dijualnya satu macam saja. Yaitu ayam hamburger. Perut yang terasa lapar dari tadi, segera terasa tak tertahankan lagi. Kami sepakat untuk membeli satu buah untuk setiap orang. Sebagai makanan kami sebelum menemukan penjual nasi sebagai makanan yang paling cocok untuk orang-orang Asia Tenggara. Harga makanan itu 5 Riyal (15.000). Makanan habis kami santap sebentar saja. Hanya untuk menghilangkan rasa lapar yang semakin lama semakin mengganggu. Penjual hamburger itu tidak menyediakan tempat duduk atau meja untuk para pembelinya. Jadi kami memakannya dengan keadaan berdiri saja. Sebagian orang yang lain yang ada di sekitar kami, ada yang memakannya dengan duduk saja di hamparan kramik yang amat luas itu. Sehabis makan hamburger itu, kami istirahat sejenak, sebelum melaksanankan perjalanan selanjutnya.
Oleh Mr. Tanjung panyabungan
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini
Ketika kami keluar dari hotel untuk kedua kalinya, jam sudah menunjukkan angka 10 pagi waktu Saudi Arabia. Perut sudah mulai kosong. Apalagi dalam keadaan dingin begitu. Tentu amat dibutuhkan banyak makanan sebagai penghangat tubuh.
Masih kuingat dulu apa kata orang-orang yang bercerita kepada saya ketika masih berada di Indonesia. Katanya, begitu pintu hotel dibuka., akan banyak kita lihat penjual nasi dan makanan-makanan Indonesia. Tapi nampaknya apa yang saya dengar itu bukan cerita yang benar. Mungkin saja itu benar pada tempatnya atau juga di tempat lain. Tapi pada tempat sekitar hotel kami, itu cerita yang tak ada buktinya. Kami sudah berjalan jauh ketika mencari jacket pada salah seorang teman yang kuceritakan tadi. Tapi tak ada satupun kami temui rumah makan atau pedagang yang menjual makanan orang Indonesia.
Masih beberapa langkah kami beranjak dari hotel, rombongan lain dari kelompok kami satu kloter segera kami lihat. Mereka datang dari arah depan. Katika semakin dekat, seorang dari teman saya bertanya pada mereka, apakah mereka sudah makan pagi. Mereka menjawab, belum. Memang dari keadaannya, mereka nampak agak pucat dan kelalahan. Mungkin karena belum makan pagi.
Perjalanan kami kali ini adalah menuju Masjidil Nabawi dan juga mencari makan pagi, serta membeli keperluan-keperluan lainnya. Di perjalanan ini, terbuktilah bagi saya bahwa jarak antara hotel saya dengan mesjid, ada sekitar 2,5 km. Jarak yang amat jauh. Apalagi untuk teman saya yang sering saya sebut “Pak tua”. Tapi karena penuhnya semangat, perjalanan jauh itu sepertinya tak merupakan beban berat bagi kami semua.
Ketika kami tiba di depan mesjid Nabawi, kami terus menuju pekarangannya yang amat luas. Seterusnya ingat apa kata guru kami dulu. Kalau hendak masuk ke mesjid Nabawi, hendaklah kita membaca satu do’a. Memang saya hanya bermaksud untuk masuk ke pekarangannya saja. Karena waktu sholat masih lama baru tiba. Tapi walaupun begitu, saya segera membaca doanya. Begini kira-kira arti do’a yang saya baca.
“DENGAN NAMA ALLAH DAN ATAS AGAMA RASULULLOH. YA ALLAH, MASUKKANLAH AKU DENGAN CARA MASUK YANG BENAR. DAN KELUARKAN PULA AKU DENGAN CARA YANG BENAR. DAN BERIKANLAH PADAKU DARI SISIMU, KEKUASAAN YANG DAPAT MENOLONG. YA ALLAH, LIMPAHKANLAH RAHMAT KEPADA JUNJUNGAN KAMI MUHAMMAD DAN KELUARGANYA. AMPUNILAH DOSAKU, BUKALAH PINTU RAHMATMU BAGIKU. DAN MASUKKANLAH AKU KE DALAMNYA. WAHAI TUHAN YANG MAHA PENGASIH DARI SEGALA YANG PENGSASIH”.
Di pekarangan mesjid yang amat luas itu, yang luasnya kira-kira selebar lapangan sepak bola, di situlah kami berada. Lapangan luas itu berlantai keramik berwarna biru. Kramik yang cukup halus dan mengkilat. Sementara di pinggir-pinggir lapangan itu, tersusun berderet toko-toko kecil yang menjual berbagai jenis keperluan. Ada yang menjual souvenir, ada yang menjual alat-alat ibadah seperti tasbih, sajadah, dan ada yang menjual pakaian muslim, menjual alat-alat keperluan dapur, dan berbagai macam lainnya. Tapi tentu semua barang-barang ini berbeda dengan model barang-barang di Indonesia. Hampir seluruhnya berbeda.
Sedemikianlah model pinggiran lapangan mesjid Nabawi itu. Sementara di lapangan pekarangan mesjid yang amat luas itu, banyak orang hilir mudik kesana-kemari. Ada yang melihat-lihat sambil menunggu waktu sholat. Ada yang seperti kami. Ada yang duduk-duduk, ada yang mengaji berduaan dengan istrinya. Ada yang terbaring terlentang di atas hamparan kramik yang luas dan bersih itu. Berbagai macam keadaan.
Ketika sedikit demi sedikit kami menelusuri pinggiran pekarangan mesjid itu, kami segera melihat satu toko penjual makanan. Di toko itu sedang banyak orang yang beli. Makanan yang dijualnya satu macam saja. Yaitu ayam hamburger. Perut yang terasa lapar dari tadi, segera terasa tak tertahankan lagi. Kami sepakat untuk membeli satu buah untuk setiap orang. Sebagai makanan kami sebelum menemukan penjual nasi sebagai makanan yang paling cocok untuk orang-orang Asia Tenggara. Harga makanan itu 5 Riyal (15.000). Makanan habis kami santap sebentar saja. Hanya untuk menghilangkan rasa lapar yang semakin lama semakin mengganggu. Penjual hamburger itu tidak menyediakan tempat duduk atau meja untuk para pembelinya. Jadi kami memakannya dengan keadaan berdiri saja. Sebagian orang yang lain yang ada di sekitar kami, ada yang memakannya dengan duduk saja di hamparan kramik yang amat luas itu. Sehabis makan hamburger itu, kami istirahat sejenak, sebelum melaksanankan perjalanan selanjutnya.
Oleh Mr. Tanjung panyabungan
Bila ingin membaca buku karangan saya mengenai haji,anda bisa memperoleh bukunya dengan mengklik link ini
Subscribe to:
Posts (Atom)